Sunday, March 4, 2012

[Review] Oliver Twist

Oliver Twist sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentang Pustaka.

Sinopsis:

Oliver menggigil ketakutan. Keringat dingin terus mengucur di tubuh kurusnya. Rasa lapar yang menggigit kini nyaris tak terasa. Orang berkerumun dengan tatapan penuh benci. Dia tidak mencopet. Tetapi, adakah yang akan memercayai omongan bocah miskin seperti dirinya?

Jika semua bukti bisa menjeratnya, Oliver akan dikirim kerja paksa tanpa dibayar dan makanan layak. Betapa malang nasib bocah yatim piatu itu. Sepertinya tak ada yang menganggapnya pantas berbahagia. Haruskah dia terus-menerus berada di jalanan dan menjadi sampah yang tidak diinginkan siapa pun?

Oliver Twist adalah salah satu karya besar Charles Dickens. Ditulis sebagai bentuk keprihatinan Dickens terhadap nasib anak-anak di Inggris pada masa itu yang terpaksa harus turun ke jalan karena kemiskinan. Kini, sebagian besar anak-anak di berbagai belahan dunia ketiga terancam mengalami hal serupa, tak terkecuali Indonesia.

Tokoh-tokoh dalam novel ini sangat mudah ditemui dalam keseharian kita: pribadi-pribadi yang munafik, rakus, kejam dan gila harta, meskipun ada juga sebagian orang yang masih tetap bersedia mendengarkan nuraninya. Novel ini sungguh layak dibaca karena mengusik hakikat kemanusiaan dalam diri kita.

----------

Review:

Label “bocah malang” mungkin paling pas disematkan pada tokoh anak yatim piatu di Inggris yang hidup pada abad 19 rekaan Charles Dickens ini: Oliver Twist. Bagaimana tidak, begitu lahir dari hubungan orang tua yang tidak jelas (baca: di luar nikah), ia langsung menjadi yatim piatu. Ayahnya sudah lama pergi entah kemana, sedang ibunya yang ringkih meninggal tak lama setelah ia lahir. Nasib anak yatim piatu yang tak memiliki akar sejarah yang jelas amatlah menyedihkan pada jaman itu. Mereka berada di bawah pengawasan semacam Dinas Sosial yang dikelola oleh pemerintah, dan ditempatkan di Rumah Sosial yang dikelola warga dan ditunjang oleh pemerintah. Jangan berpikir bahwa mereka bisa hidup enak di sana. Kebanyakan rumah sosial itu justru tidak sosial sama sekali, mereka malah mengambil keuntungan dengan menyunat anggaran untuk makanan dan kebutuhan anak-anak itu dari anggaran sebenarnya yang sudah sangat kecil dari pemerintah. Alhasil, anak-anak itu menderita kurang gizi parah, belum lagi perlakuan tidak manusiawi seperti tempat tidur kumuh dan sempit, bekerja berat dan siksaan fisik menjadikan hidup anak-anak yatim itu semakin suram. Read more



No comments:

Post a Comment